Online-uttarakhand.com – Kamu pasti pernah dengar nama Pangeran Diponegoro, kan? Sosok yang jadi simbol perlawanan melawan penjajahan Belanda di Jawa ini punya cerita yang gak kalah keren di banding puisi karya Chairil Anwar yang kita baca tadi. Perang Diponegoro bukan cuma soal pertempuran fisik, tapi juga tentang semangat juang, kebanggaan budaya, dan tekad untuk merdeka. Yuk, kita kulik lebih dalam tentang Perang Diponegoro yang terjadi antara tahun 1825 sampai 1830, perang yang bisa dibilang cukup menguras tenaga dan kas Belanda!
Siapa Sebenarnya Pangeran Diponegoro?
Pangeran Diponegoro lahir pada 11 November 1785 dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar. Setelah ayahnya naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwono III, namanya berubah jadi Bendara Pangeran Harya Diponegoro. Sosok ini di kenal cerdas dan religius, menguasai ilmu hukum Islam dan Jawa, serta memilih untuk menjauh dari kemewahan keraton.
Dia bahkan menolak untuk naik tahta karena merasa posisinya kurang legitimasi sebagai anak selir, dan juga ia gak suka pengaruh Belanda yang makin kuat dalam urusan kerajaan. Dia lebih memilih hidup dekat dengan rakyat biasa, menetap di Tegalrejo, dekat dengan tempat tinggal eyang buyutnya. Sikapnya yang religius dan kritis terhadap pengaruh Belanda membuatnya jadi figur yang sangat di perhitungkan.
Sebab Umum
Berikut beberapa sebab umum terjadinya perang tersebut:
- Pecahnya Kesultanan Mataram: Kesultanan Mataram Islam pecah jadi beberapa wilayah karena Perjanjian Giyanti dan Salatiga di abad 18. Wilayah ini makin kecil dan mudah di masuki pengaruh Belanda. Mereka ikut campur urusan kerajaan dan mulai merusak tatanan sosial serta budaya yang ada.
- Konflik Internal Keraton: Ada perpecahan antara kubu Ratu Ibu dan kubu Pangeran tersebut. Ini bikin keraton jadi gak stabil dan rawan di manfaatkan oleh Belanda.
- Beban Pajak Rakyat: Rakyat makin sengsara karena pajak yang terus naik dan macam-macam. Bayangin aja, sampai jumlah pintu rumah juga di pajakin! Pajak-pajak ini makin bikin rakyat dan bangsawan bawah tekanan.
Sebab Khusus
Pada Mei 1825, Belanda mulai membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang. Awalnya jalan ini lewat Muntilan, tapi di ubah jadi lewat Tegalrejo, tempat tinggalnya. Parahnya, mereka pasang patok jalan tepat di makam leluhur pangeran tersebut! Hal ini memicu kemarahan besar dan jadi pemicu langsung meletusnya perang.
Jalannya Perang
Perang di mulai pada 20 Juli 1825 setelah Belanda mengirim tentara untuk menangkap pangeran tersebut. Daerah Tegalrejo di bakar, dan pangeran tersebutmelarikan diri ke Goa Selarong, yang kemudian jadi markas utama pasukannya. Perang ini gak cuma terjadi di satu tempat, tapi menyebar luas ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, makanya di kenal juga sebagai Perang Jawa.
Ribuan orang, termasuk bangsawan dan bupati, mendukung pangeran tersebut. Ia pun di bantu tokoh-tokoh penting seperti Kyai Mojo sebagai penasihat agama dan Sentot Ali Baharsyah sebagai penasihat militer. Strategi utama yang pangeran tersebut pakai adalah perang gerilya, bertarung secara sembunyi-sembunyi dan mengandalkan dukungan rakyat. Ia juga memperkenalkan ide dirinya sebagai “Ratu Adil” yang akan membebaskan rakyat dari penindasan Belanda.
Kemenangan besar sempat di raih, seperti saat merebut Pacitan dan Purwodadi, serta mengalahkan Belanda di Prambanan dan Plered. Namun, Belanda gak tinggal diam. Pada 1827, mereka membangun benteng-benteng pertahanan dan membuat jalan penghubung untuk memutus garis komunikasi pasukan pangeran tersebut, yang di kenal dengan sistem benteng (benteng stelsel).
Akhir Perang dan Penangkapan
Setelah berperang selama hampir 5 tahun, pada 28 Maret 1830, Pangeran tersebut di tangkap di Magelang. Pihak Belanda mengundangnya untuk berunding, tapi justru menangkapnya secara licik. Ini jelas pelanggaran kode etik perang. Pangeran tersebut di penjara di Batavia, kemudian di pindah ke Manado dan akhirnya ke Makassar, di mana ia wafat pada 8 Januari 1855. Pasukan pangeran tersebut akhirnya kalah karena kehilangan pemimpin mereka.
Dampak Perang
Perang yang sangat melelahkan ini memakan korban sekitar 200.000 orang dari kedua pihak. Bagi Belanda, perang ini membawa kerugian besar sampai hampir membuat pemerintah Hindia Belanda bangkrut. Setelah perang, Belanda memperketat penguasaan dengan mengenalkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) sejak 1830 hingga 1870. Kebijakan ini makin memberatkan rakyat dan memperparah penderitaan mereka.
Perang tersebut juga menandai perang besar terakhir yang di pimpin oleh bangsawan. Meski pangeran tersebut kalah, perjuangannya menanamkan semangat perlawanan yang kemudian menginspirasi lahirnya kesadaran nasionalisme di kalangan generasi selanjutnya.
Baca juga: Winston Churchill, Pahlawan Inggris Raya yang Hidup Berkali-Kali
Kesimpulan
Perang Diponegoro bukan hanya soal pertempuran fisik, tapi juga simbol perjuangan bangsa melawan penindasan dan penjajahan. Pangeran tersebut menunjukkan bahwa keberanian dan semangat juang bisa membangkitkan harapan, meski dalam situasi yang sangat sulit.
Semangat perjuangan pangeran tersebut masih relevan sampai sekarang sebagai pengingat bahwa kemerdekaan dan keadilan harus di perjuangkan dengan gigih. Jadi, meskipun terjadi ratusan tahun lalu, kisah Perang tersebut tetap jadi pelajaran penting tentang keberanian, strategi, dan cinta tanah air yang gak boleh di lupakan. Kalau kamu tertarik, kamu bisa terus gali sejarah ini karena banyak pelajaran penting yang bisa di petik dari perjuangan Pangeran tersebut. Bagaimana menurut kamu?