Perang Pandan, Tradisi Berdarah Penuh Makna di Tenganan Bali

Perang Pandan

Online-uttarakhand.com – Di balik indahnya pantai-pantai Bali, ada satu tradisi unik yang mungkin belum banyak kamu dengar. Tradisi ini bukan tarian, bukan pula sesajen biasa. Ini tentang darah, duri, dan keberanian. Ya, namanya Perang Pandan. Sekilas terdengar menyeramkan, tapi tunggu dulu, ada cerita luar biasa di balik ritual ini. Tradisi turun-temurun ini bukan sekadar aksi fisik, ia adalah bentuk pengabdian, penghormatan, dan warisan budaya yang tak ternilai.

Asal Usul Perang Pandan

Perang Pandan atau yang juga di kenal dengan istilah makere-kere, berasal dari Desa Tenganan, sebuah desa kuno di Karangasem, Bali. Bukan desa sembarangan, Tenganan punya sejarah dan sistem kepercayaan yang berbeda dari kebanyakan wilayah di Bali. Masyarakatnya menganut ajaran Hindu Indra, yang menjadikan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi, bukan Trimurti seperti umumnya. Menurut kepercayaan lokal, dulu kala ada seorang raja lalim bernama Maya Denawa.

Ia begitu congkak, sampai mengklaim dirinya sebagai dewa dan melarang segala bentuk ritual keagamaan. Tentu saja, hal ini mengundang murka para dewa. Maka Dewa Indra turun tangan. Terjadilah pertempuran hebat, dan Maya Denawa akhirnya tumbang. Nah, untuk mengenang kemenangan Dewa Indra sekaligus sebagai simbol penghormatan, masyarakat Tenganan setiap tahunnya menggelar Perang Pandan.

Lokasi Sakral dan Waktu Pelaksanaan

Perang Pandan berlangsung di halaman balai pertemuan desa Tenganan. Tempat ini bukan sekadar tanah lapang, tapi pusat aktivitas adat yang punya nilai sakral tinggi. Desa ini sendiri terletak di wilayah yang di kelilingi perbukitan, seolah jadi benteng alami yang menjaga kesucian adat dan tradisi leluhur.

Tradisi ini digelar setiap tahun sekali, tepatnya di bulan kelima menurut kalender adat setempat, yang disebut sasih kalima. Biasanya berlangsung dua hari berturut-turut, mulai jam dua siang hingga sekitar tiga jam ke depan. Momen ini merupakan bagian dari rangkaian ritual besar yang di sebut Sasih Sembah, acara adat paling penting dalam setahun di desa itu.

Peralatan Perang yang Tak Biasa

Namanya perang, tentu butuh senjata. Tapi di Perang Pandan, senjatanya bukan pedang atau tombak, melainkan pandan berduri. Ya, daun pandan liar dengan duri tajam yang diikat hingga membentuk semacam gada mini. Senjata ini di gunakan untuk mencabik kulit lawan dalam pertarungan satu lawan satu.

Peserta juga memegang tameng dari anyaman rotan untuk melindungi diri. Selama pertarungan berlangsung, suara gamelan khas Tenganan bernama seloding mengiringi jalannya laga. Yang unik, alat musik ini hanya boleh di mainkan oleh orang-orang tertentu yang disucikan. Bahkan, alat ini tidak boleh menyentuh tanah, saking sakralnya.

Peserta dan Simbol Pendewasaan

Yang ikut dalam Perang Pandan kebanyakan adalah para pemuda desa. Ini bukan cuma ajang adu kuat, tapi juga sebagai tanda bahwa mereka sudah masuk fase kedewasaan. Anak-anak laki-laki yang mulai remaja biasanya mulai ikut serta, dan bagi warga luar desa, mereka hanya boleh berperan sebagai pendukung, bukan petarung utama.

Meskipun pertarungan ini bisa menyebabkan luka berdarah, tak ada rasa dendam setelahnya. Justru, momen ini mempererat tali persaudaraan. Luka-luka akibat duri pandan langsung di obati dengan ramuan alami dari kunyit, dan acara di tutup dengan makan bersama yang disebut megibung, simbol rekonsiliasi dan kebersamaan.

Urutan Acara yang Sarat Simbol

Sebelum perang di mulai, para peserta dan warga desa akan mengelilingi desa. Ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi bentuk permohonan keselamatan kepada para dewa. Setelah itu, mereka akan minum tuak bersama, lagi-lagi, bukan untuk mabuk, melainkan sebagai bagian dari ritual pengikat batin. Tuak yang tersisa bahkan di kumpulkan dan dibuang di sisi panggung sebagai simbol pengorbanan.

Saat perang di mulai, pemangku adat memberikan aba-aba. Dua peserta akan maju, menari-nari lalu saling serang menggunakan pandan berduri. Setiap pasangan di beri waktu beberapa menit sebelum di gantikan oleh pasangan lain. Suasananya meriah, tapi juga magis. Ada tawa, ada jeritan kecil, tapi semuanya terasa khidmat dan penuh makna.

Pakaian Adat Penuh Filosofi

Para petarung tidak mengenakan pakaian sembarangan. Mereka memakai kain tenun khas Tenganan yang dikenal dengan nama Pegringsingan. Ini adalah kain yang ditenun dengan teknik rumit dan hanya dipakai untuk acara-acara adat penting. Para pria biasanya hanya mengenakan kamen (sarung), saput (selendang), dan udeng (ikat kepala). Dada mereka dibiarkan terbuka, seperti siap menantang apapun yang datang, termasuk duri-duri pandan yang menyayat kulit.

Baca juga: Sejarah Belgia vs Italia: Duel Klasik yang Mengubah Peta Euro 2020

Kesimpulan

Perang Pandan bukan sekadar festival tahunan. Ini adalah panggung tempat sejarah, kepercayaan, dan semangat kolektif menyatu dalam harmoni. Setiap luka adalah cerita, setiap sabetan adalah doa, dan setiap tawa adalah kemenangan atas lupa. Bagi yang berkunjung ke Bali, menyaksikan Perang Pandan di Tenganan bukan hanya soal melihat budaya, tapi merasakan jiwa sebuah desa yang tak pernah tunduk oleh waktu.

Jadi, kalau kamu lagi di Bali dan ingin merasakan sisi lain dari pulau dewata yang bukan sekadar pantai dan bar, coba sempatkan diri menyusuri jalan ke Tenganan. Siapa tahu, kamu pulang bukan cuma bawa oleh-oleh, tapi juga sepotong cerita yang membekas di hati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *