Online-uttarakhand.com – Jika kamu pikir perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan cuma sebatas proklamasi 1945, kamu harus kenal dulu kisah heroik dari tanah Serambi Mekkah, Aceh. Di ujung barat Indonesia ini, pernah berkobar perang besar yang berlangsung lebih dari 30 tahun yaitu Perang Aceh. Ini bukan cuma sekadar konflik bersenjata, tapi simbol perlawanan tak kenal lelah dari sebuah bangsa kecil melawan kekuatan kolonial besar seperti Belanda. Yuk, langsung kita bahas!
Awal Mula Perang Aceh
Perang Aceh dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1904. Konflik ini dipicu oleh manuver diplomatik Aceh dengan Amerika Serikat di Singapura, yang dilihat Belanda sebagai ancaman atas pengaruh mereka. Padahal, selama puluhan tahun sebelumnya, kemerdekaan Aceh dijamin oleh Perjanjian Inggris-Belanda 1824.
Tapi segalanya berubah saat Terusan Suez dibuka tahun 1869. Rute perdagangan Eropa ke Asia jadi lebih pendek, dan Sumatera terutama Aceh jadi titik penting. Belanda makin ngotot ingin menguasai Aceh. Apalagi wilayah ini kaya rempah seperti lada dan punya potensi minyak bumi.
Strategi Belanda Gagal Total
Belanda awalnya berpikir bisa menaklukkan Aceh dalam waktu singkat. Mereka kirim ekspedisi militer besar yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler. Tapi hasilnya? Köhler tewas ditembak penembak jitu Aceh saat mengepung Masjid Raya Baiturrahman. Pasukan Belanda pun harus mundur. Kekalahan ini bikin malu dan mengoyak moral tentara Belanda.
Belanda lalu mengganti taktik. Mereka coba blokade laut, membentuk barisan benteng, bahkan pendekatan diplomatik. Tapi semua gagal. Biaya perang membengkak sampai puluhan juta gulden per tahun dan bikin kas kolonial nyaris bangkrut.
Ekspedisi Kedua, Belanda Berhasil Masuk Tapi Bukan Menang
November 1873, Belanda balik lagi dengan 13.000 pasukan di bawah Jenderal Jan van Swieten. Kali ini mereka berhasil menduduki ibu kota Banda Aceh dan istana Sultan. Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mundur ke pedalaman.
Belanda buru-buru mengklaim kemenangan dan membubarkan Kesultanan Aceh. Tapi mereka salah besar. Rakyat Aceh belum menyerah. Bahkan setelah Sultan Mahmud wafat karena kolera, rakyat mengangkat Tuanku Muhammad Daud jadi Sultan baru. Perlawanan makin sengit, terutama dari wilayah pedalaman dan pegunungan.
Perang Gerilya dan Strategi Baru Aceh
Pasukan Aceh mulai beralih ke taktik gerilya. Mereka menyerang secara tiba-tiba, pasang perangkap, dan menyergap pasukan Belanda yang lengah. Salah satu tokoh paling terkenal dalam fase ini adalah Teuku Umar. Awalnya dia pura-pura kerja sama dengan Belanda, dapat dana, senjata, dan gelar. Tapi pada 1896, dia balik menyerang Belanda. Ini dikenal sebagai “Pengkhianatan Teuku Umar”.
Di sisi lain, tokoh agama seperti Teungku Chik di Tiro juga mengobarkan semangat jihad lewat khotbah dan hikayat. Perang Aceh bukan lagi sekadar konflik teritorial, tapi perang suci melawan penjajah kafir. Semangat ini bikin perjuangan rakyat Aceh terus menyala, walau lawannya punya teknologi dan senjata yang lebih canggih.
Pembantaian dan Penindasan Brutal
Belanda makin brutal. Mereka menghancurkan desa, membakar rumah-rumah, dan membunuh warga sipil. Pada tahun 1904, Belanda menyerbu Benteng Kuta Reh di Alasland dan menewaskan ratusan warga. Foto-foto pembantaian ini sampai membuat publik Belanda sendiri mempertanyakan moralitas perang ini.
Di sisi lain, korban dari pihak Belanda juga nggak sedikit. Banyak jenderal dan perwira tinggi mereka yang gugur, termasuk Mayor Jenderal Pel dan Mayor Jenderal de Moulin. Perang ini benar-benar menguras tenaga, uang, dan moral bangsa kolonial.
Akhir Perang, Tapi Bukan Akhir Perlawanan
Tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerah setelah lama bertahan di pegunungan. Tapi perjuangan rakyat Aceh belum benar-benar padam. Perlawanan kecil masih terus terjadi hingga 1914, bahkan sampai masa pendudukan Jepang di Perang Dunia II. Belanda memang mengklaim menang, tapi itu cuma di atas kertas. Di hati rakyat Aceh, semangat melawan tak pernah mati.
Warisan Perang Aceh
Perang Aceh adalah salah satu perang paling panjang dan berdarah dalam sejarah kolonial Belanda. Lebih dari 70 ribu orang Aceh gugur, dan ribuan tentara Belanda juga tewas. Tapi yang paling penting, perang ini menunjukkan betapa gigih dan kuatnya semangat kemerdekaan rakyat Indonesia, jauh sebelum Proklamasi 1945 dikumandangkan.
Masjid Raya Baiturrahman, yang dulu jadi saksi bisu pertempuran pertama, kini berdiri megah di pusat Banda Aceh. Masjid ini dibangun ulang oleh Belanda sebagai simbol rekonsiliasi, tapi bagi rakyat Aceh, bangunan ini lebih dari itu, simbol keteguhan, keberanian, dan keyakinan pada kemerdekaan.
Baca juga: Lengkap! Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia Menurut 4 Teori
Kesimpulan
Perang Aceh bukan cuma soal tembak-menembak atau perebutan wilayah. Ini adalah simbol perjuangan sebuah bangsa kecil melawan kekuatan kolonial besar. Rakyat Aceh, dengan segala keterbatasannya, berani melawan dominasi Belanda yang saat itu dianggap salah satu kekuatan militer terbaik dunia.
Dan yang bikin perang ini istimewa, adalah semangatnya. Mereka nggak sekadar perang karena tanah atau kekuasaan, tapi karena keyakinan. Mereka yakin, merdeka adalah hak, dan penjajahan adalah kejahatan. Jadi kalau kamu mau belajar tentang makna perjuangan, semangat, dan harga dari kemerdekaan, kisah Perang Aceh adalah salah satu cerita paling luar biasa dari sejarah kita.