online-uttarakhand.com – Sebelum Islam datang dan mengubah wajah sejarah, peradaban Arab pra-Islam sudah lebih dulu tumbuh di tengah kegersangan tanah padang pasir. Jazirah itu bukan sekadar tempat lahirnya unta dan gurun, tapi juga medan keras yang menyimpan ribuan kisah tentang manusia yang bertahan, suku yang berseteru, serta keyakinan yang bercampur antara langit dan bumi. Penasaran seperti apa wajah asli masyarakat Arab sebelum ada wahyu yang diturunkan? Yuk, kita kupas masa lalu yang sering kali luput dari sorotan ini.
Kehidupan Awal dan Lingkungan Alam yang Menantang
Jazirah Arab punya medan yang ekstrem yaitu kering, tandus, panas menyengat, dan minim air. Sungai hanya eksis di bagian selatan, sisanya? Gurun membentang sejauh mata memandang. Tapi jangan salah, manusia sudah hidup di wilayah ini sejak sekitar 60.000 tahun lalu, bermigrasi dari Afrika. Bukti-bukti arkeologis dari Jabal Faya nun di Uni Emirat Arab mengungkapkan bahwa mereka membawa peralatan dari zaman batu yang mirip dengan peninggalan di Afrika Timur Laut.
Dengan kondisi alam yang begitu keras, masyarakat pun menyesuaikan cara hidup. Sebagian memilih hidup nomaden sebagai badui, berpindah-pindah dengan unta dan ternak mereka, sementara sebagian lainnya sudah hidup menetap di oasis atau kota-kota kecil, mencoba bertahan dengan bertani, berdagang, atau beternak. Perdagangan jadi jalan hidup yang penting, karena dari situ mereka bisa menjalin relasi dengan daerah kaya seperti Syam, Irak, Yaman, dan Persia.
Struktur Sosial, Kesukuan di Atas Segalanya
Arab pra-Islam adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi sistem kabilah atau suku. Identitas, harga diri, dan keberlangsungan hidup semua bergantung pada kabilah tempat seseorang berasal. Setiap kabilah punya pemimpin, aturan, serta kehormatan yang dijaga mati-matian. Fanatisme terhadap suku bisa dibilang sudah mendarah daging, bahkan sering kali menjadi pemicu perang yang bisa berlangsung bertahun-tahun hanya karena soal sepele.
Kadang cuma karena unta atau kata-kata yang dianggap menghina. Di sisi lain, solidaritas antaranggota kabilah begitu tinggi. Kalau satu orang disakiti, satu kabilah bisa bergerak. Tapi ini juga jadi masalah ketika antar kabilah saling serang tanpa ujung, karena tidak ada hukum negara, hanya hukum kabilah yang berlaku.
Kepercayaan dalam Kekacauan Rohani
Saat itu, belum ada satu agama besar yang mendominasi jazirah Arab. Kepercayaan masyarakat sangat beragam, bahkan bisa dibilang liar. Mayoritas adalah penyembah berhala, berhala yang mereka ciptakan sendiri, disimpan di rumah, di pasar, atau bahkan di Ka’bah yang saat itu penuh patung dewa-dewi. Tapi bukan berarti agama lain gak ada. Di bagian utara dan barat daya, sudah ada komunitas Kristen seperti di Najran, Hirah, dan Ghassan.
Di kota-kota seperti Yatsrib dan Khaibar, komunitas Yahudi berkembang dengan tradisinya sendiri. Agama Majusi dari Persia juga masuk ke wilayah timur karena pengaruh tetangga. Di antara semua itu, ada juga segelintir orang yang memilih berjalan sendirian, menolak berhala dan mencoba mengikuti ajaran Tauhid dari Nabi Ibrahim. Mereka di kenal sebagai Hanif, seolah jadi cahaya kecil di tengah gelapnya kesesatan.
Sastra dan Budaya, Gurun yang Punya Suara
Meski di kelilingi tantangan, Arab pra-Islam punya kekayaan budaya yang unik, terutama dalam bentuk syair. Puisi jadi alat ekspresi, media berita, bahkan alat propaganda antar kabilah. Para penyair di hormati, karena lewat kata-kata mereka bisa mengangkat martabat kabilah atau menjatuhkan musuh. Bahasa Arab pun mulai mengakar sebagai bahasa yang indah dan penuh kekuatan, menjadi cikal bakal bahasa Al-Qur’an di kemudian hari.
Selain itu, pasar seperti Ukaz bukan cuma tempat jual beli, tapi juga arena debat, puisi, dan adu argumen. Budaya ini jadi bukti bahwa bangsa Arab meski belum bersatu dalam politik atau agama, sudah punya kecerdasan intelektual yang tajam.
Warisan Peradaban yang Terlupakan
Meskipun informasi tentang era ini terbatas, jejak-jejak mereka tetap terasa. Dari catatan bangsa Romawi, Persia, serta peninggalan arkeologis, kita tahu bahwa Arab pra-Islam bukan tanah kosong tanpa sejarah. Mereka sudah membangun sistem sosial sendiri, menjalani hidup di medan yang keras, dan merintis perdagangan lintas batas sebelum Islam datang membawa cahaya baru.
Sayangnya, sebagian besar sejarah mereka terkubur dalam puing-puing waktu. Sebagian besar kisah tentang mereka baru bisa kita telusuri melalui syair-syair tua dan catatan dari para sejarawan Islam setelah Islam menyebar.
Baca juga: Fakta Perang yang Terus Menggentarkan Dunia
Sebuah Awal yang Penuh Tanda Tanya
Peradaban Arab pra-Islam memang terlihat penuh kekacauan, fanatisme, dan kepercayaan yang terfragmentasi. Tapi justru dari kekacauan itu, muncul benih-benih perubahan besar yang nantinya akan mengguncang dunia. Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab telah di tempa oleh panasnya gurun, kerasnya hidup, dan kegetiran konflik.
Mereka belajar bertahan, mereka belajar mengingat lewat syair, dan mereka menunggu dan tanpa sadar sebuah perubahan besar yang akan mengubah arah sejarah selamanya. Jadi, saat kamu mendengar tentang kejayaan Islam, jangan lupakan tanah tandus yang menjadi rahim dari peradaban besar itu. Tanah yang pernah sepi, tapi menyimpan gema yang tak pernah mati.