Ini Dia Sejarah Kelam Perang Sampit yang Jarang Diceritakan Orang

Perang Sampit

Online-uttarakhand.com – Kalau kamu pernah dengar tentang Perang Sampit, pasti tahu kalau ini bukan perang biasa. Perang Sampit atau yang juga dikenal sebagai Tragedi Sampit adalah salah satu konflik antaretnis paling brutal yang pernah terjadi di Indonesia, tepatnya di Kalimantan Tengah, pada tahun 2001. Peristiwa ini bikin geger karena melibatkan bentrokan antara dua kelompok etnis besar, yaitu suku Dayak yang asli Kalimantan dan pendatang Madura dari Pulau Madura.

Apa Itu Perang Sampit?

Perang Sampit adalah konflik kekerasan yang pecah pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Konflik ini awalnya meletus di kota Sampit, Kalimantan Tengah, dan kemudian menyebar ke wilayah lain termasuk Palangka Raya, ibu kota provinsi. Intinya, perang ini adalah bentrokan berdarah antara penduduk asli Dayak dengan warga Madura yang merupakan pendatang transmigran.

Konflik ini punya latar belakang panjang dan rumit, bukan tiba-tiba muncul. Tapi yang bikin meledak adalah serangkaian tindakan kekerasan yang di lakukan kelompok Madura, yang membunuh beberapa warga Dayak. Bahkan, ada yang bilang mereka mengklaim Sampit sebagai “Sampang kedua”, Sampang adalah kota besar di Madura. Tentu saja, klaim itu bikin warga Dayak marah besar.

Setelah serangan awal tersebut, konflik jadi makin membara. Warga Madura menyerang orang Dayak, tapi balasan dari suku Dayak juga sangat brutal. Ada laporan yang menyebut ratusan warga Madura di penggal kepalanya, termasuk wanita dan anak-anak yang sama sekali tidak bersalah.

Latar Belakang Konflik Sampit

Kalau kamu pikir Perang Sampit cuma kejadian sekali, sebenarnya ini bagian dari ketegangan yang sudah lama terpendam. Bentrokan besar antara Dayak dan Madura pernah terjadi juga pada akhir 1996 hingga awal 1997, yang menewaskan sekitar 600 orang. Jadi, Perang Sampit tahun 2001 ini adalah puncak dari konflik yang sudah berlangsung lama. Penduduk Madura mulai datang ke Kalimantan sejak era 1930-an lewat program transmigrasi pemerintah kolonial Belanda, lalu di teruskan pemerintah Indonesia.

Tahun 2000, warga Madura sudah jadi sekitar 21 persen dari total populasi di Kalimantan Tengah. Hal ini menimbulkan rasa tidak puas dari suku Dayak karena persaingan semakin ketat, apalagi warga Madura mulai menguasai banyak bidang usaha penting seperti perkayuan, penambangan, dan perkebunan. Ini bikin konflik sosial dan ekonomi makin panas.  Sumber konflik ini sendiri beragam.

Ada cerita yang bilang pemicu utamanya adalah pembakaran rumah warga Dayak oleh orang Madura, yang kemudian di balas dengan pembakaran rumah warga Madura.  Ada juga yang menyebut masalah judi di sebuah desa yang bikin warga Dayak di siksa dan di bunuh oleh warga Madura. Bahkan, ada versi yang menyebut konflik ini berawal dari percekcokan antar murid di sekolah yang melibatkan siswa dari kedua kelompok etnis tersebut. Pokoknya, akar konflik ini sangat kompleks dan melibatkan banyak faktor.

Pemenggalan Kepala, Tradisi Ngayau yang Mengerikan

Salah satu hal yang paling menakutkan dan terkenal dari Perang Sampit adalah praktik pemenggalan kepala oleh suku Dayak, yang di kenal dengan istilah Ngayau. Walaupun tradisi ini sebenarnya sudah di anggap punah sejak awal abad ke-20, tapi selama konflik ini terjadi, sekitar 100 warga Madura di penggal kepalanya oleh suku Dayak.

Yang bikin tragedi ini makin memilukan adalah korban yang tidak hanya pria dewasa, tapi juga wanita dan anak-anak ikut menjadi sasaran kekerasan. Hal ini menunjukkan betapa brutal dan sadisnya bentrokan ini.

Tanggapan Pemerintah dan Aparat

Melihat betapa parahnya situasi, aparat keamanan seperti militer dan polisi kewalahan mengendalikan keadaan. Mereka mengirim bala bantuan untuk membantu mengatasi kerusuhan yang semakin meluas. Pada 18 Februari 2001, suku Dayak bahkan sempat mengambil alih kendali kota Sampit.

Polisi sempat menangkap beberapa dalang yang di duga memprovokasi kerusuhan ini, termasuk seorang pejabat lokal. Tapi, meski sudah ada penangkapan, suasana tetap tidak kondusif. Pada 21 Februari, ribuan orang Dayak mengepung kantor polisi di Palangka Raya menuntut pembebasan tahanan dari suku mereka, dan polisi terpaksa menyerah karena kalah jumlah.

Baru pada 28 Februari, militer berhasil mengamankan situasi dan membersihkan jalanan dari massa yang bertikai. Sayangnya, kekerasan sporadis tetap terjadi sepanjang tahun 2001, dan dampaknya di rasakan masyarakat selama bertahun-tahun.

Baca juga: Menguak Latar Sejarah Perang Teluk, Api yang Membakar Timur Tengah

Apa Pelajaran dari Perang Sampit?

Perang Sampit adalah pelajaran pahit tentang betapa pentingnya menjaga kerukunan antar suku dan budaya. Ketegangan ekonomi dan sosial bisa dengan mudah memicu konflik besar jika tidak di atasi dengan bijak. Konflik ini juga menunjukkan bagaimana identitas etnis dan klaim wilayah bisa menjadi pemicu kekerasan yang mengerikan.

Kita harus ingat, setiap kekerasan seperti ini selalu merugikan semua pihak, bahkan yang paling tak berdosa sekalipun seperti anak-anak dan wanita. Penyelesaian konflik tidak bisa dengan balas dendam, tapi harus lewat dialog, saling pengertian, dan penghormatan terhadap hak serta budaya masing-masing.

Jangan sampai sejarah kelam seperti ini terulang kembali. Mari kita belajar dari masa lalu dan berusaha menciptakan kehidupan yang lebih harmonis antar suku dan budaya di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *