online-uttarakhand.com – Perlawanan hebat yang mengguncang Maluku di awal abad ke-19 bermula dari seorang pria biasa yang kemudian jadi legenda. Namanya Kapitan Pattimura, pahlawan yang keberaniannya mampu menaklukkan benteng-benteng Belanda dan membakar semangat rakyat untuk bebas. Perang yang ia pimpin bukan sekadar pertarungan senjata, tapi juga simbol perlawanan gigih melawan penjajahan yang tak kenal ampun. Yuk, simak cerita lengkap tentang Perang Pattimura, perjuangan yang tak lekang oleh waktu.
Serangan Awal, Saparua Membara
Hari itu bukanlah hari yang biasa. Pattimura dan pasukannya menyerang pos-pos milik Belanda di Saparua. Target utama mereka adalah Benteng Duurstede, simbol kekuasaan Belanda di wilayah itu. Pertempuran yang berlangsung sengit akhirnya berbuah manis.
Benteng itu berhasil direbut, dan kepala residen Belanda di Saparua, Van den Berg, tewas bersama pasukannya. Kemenangan ini bukan cuma soal merebut wilayah, tapi juga membakar semangat rakyat Maluku dari Seram, Hitu, sampai ke daerah-daerah lain.
Ekspedisi Beetjes, Serangan Balasan yang Gagal
Tak tinggal diam, Belanda langsung mengirim pasukan tambahan dari Ambon yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Dengan 300 prajurit, mereka berharap bisa mengambil alih kembali benteng yang sudah jatuh ke tangan rakyat. Tapi mereka salah besar. Pasukan Beetjes justru dipukul mundur. Maluku saat itu sedang menyala, dan setiap jengkal tanah jadi medan tempur. Kemenangan ini menambah percaya diri rakyat, bahwa Belanda bukanlah makhluk dewa yang tak bisa dikalahkan.
Perlawanan Meluas dan Strategi Gerilya
Kemenangan di Saparua memantik perlawanan ke berbagai penjuru. Daerah Hitu dan Seram pun ikut melawan. Salah satu tokoh perlawanan di Hitu adalah seorang tua berusia 80 tahun bernama Ulupaha. Sayangnya, perjuangannya harus terhenti karena pengkhianatan, dan ia pun tertangkap oleh Belanda.
Belanda yang makin kesal mulai mengerahkan kekuatan militer lebih besar. Kapal-kapal perang lengkap dengan meriam mulai berdatangan. Benteng Duurstede di bombardir dari laut, dan akhirnya berhasil di rebut kembali. Tapi perjuangan tak berhenti. Pattimura beralih ke perang gerilya, memanfaatkan hutan dan medan yang di kuasai rakyat lokal untuk terus menyerang dari balik bayangan.
Serangan Besar-besaran dan Posisi Terjepit
Masuk bulan Oktober 1817, Belanda mulai mengerahkan pasukan besar-besaran. Di pimpin oleh Kapten Lisnet, mereka menyisir wilayah-wilayah di Maluku. Sedikit demi sedikit, posisi pasukan Pattimura mulai terdesak. Namun, bukan karena kalah taktik atau semangat, melainkan karena jumlah pasukan yang tidak seimbang dan serangan yang datang bertubi-tubi.
Di tengah kondisi yang genting, Belanda bahkan menyebar sayembara, siapa pun yang bisa menangkap Kapitan Pattimura akan di beri hadiah 1.000 Gulden. Itu jumlah yang sangat besar saat itu. Artinya, Belanda benar-benar merasa terancam oleh Pattimura.
Baca juga: Fakta Perang yang Terus Menggentarkan Dunia
Dikhianati dari Dalam
Inilah bagian paling menyakitkan dari sejarah Perang Pattimura. Bukan karena kalah dalam pertempuran, tapi karena di khianati oleh bangsanya sendiri. Pengkhianat itu adalah Raja Booi, penguasa dari Negeri Booi di Saparua. Dialah yang membocorkan informasi tempat persembunyian Pattimura kepada Belanda. Pada malam 11 November 1817, tentara Belanda mengepung rumah persembunyian Pattimura dan pasukannya di Hutan Booi.
Suasana hening berubah jadi mencekam ketika pintu rumah di dobrak. Di bawah todongan senjata, mereka di paksa menyerah. Lalu muncul Raja Booi dan berkata, “Thomas, menyerahlah engkau. Tidak ada gunanya melawan. Rumah ini sudah di kepung empat puluh serdadu yang siap menembak mati kalian.” Pattimura hanya bisa berteriak, “Terkutuklah engkau, pengkhianat!” sebelum akhirnya di giring ke Ambon dan di kurung di Benteng Victoria.
Persidangan dan Hukuman Gantung
Kabar penangkapan Pattimura tersebar cepat. Beberapa tokoh perlawanan lain menyerah, sebagian tetap melawan. Di dalam penjara, Pattimura di interogasi berkali-kali, tapi ia tetap membungkam. Tidak ada satu pun informasi keluar dari mulutnya. Kesetiaannya terhadap perjuangan tak bisa di goyahkan.
Pada bulan Desember 1817, Pattimura dan beberapa pemimpin lain seperti Anthone Rhebok, Sayyid Perintah, Melchior Kesaulya, dan Philip Latumahina di bawa ke pengadilan kolonial Ambon. Vonis yang di jatuhkan ke mereka sangat berat yaitu hukuman gantung. Hari-hari terakhir menjelang eksekusi mereka habiskan dengan perenungan. Mereka sadar bahwa kebebasan memang tak datang gratis. Harus ada yang di korbankan, termasuk nyawa mereka sendiri.
Warisan Perjuangan Pattimura
Kapitan Pattimura mungkin telah gugur di tiang gantungan, tapi semangatnya tak pernah padam. Perjuangannya jadi simbol perlawanan rakyat terhadap penjajahan. Ia bukan sekadar pejuang yang membawa senjata, tapi pemimpin yang bisa menyatukan rakyat, menyusun strategi, dan memberi harapan di tengah keputusasaan.
Hari ini, nama Pattimura abadi sebagai pahlawan nasional Indonesia. Namanya di kenang di buku sejarah, di nama jalan, bahkan di uang kertas. Tapi lebih dari itu, ia jadi teladan tentang berani melawan ketidakadilan, bahkan jika harus mengorbankan segalanya.
Kesimpulan
Perang Pattimura bukan cuma cerita tentang pertempuran dan pengkhianatan. Ini adalah kisah keberanian, kepemimpinan, dan semangat yang tak bisa di bungkam. Dalam sejarah bangsa, nama Kapitan Pattimura adalah bukti nyata bahwa suara rakyat bisa mengguncang kekuasaan sebesar apa pun. Jadi, ketika kamu membaca kisah ini, ingatlah! perjuangan belum selesai selama masih ada ketidakadilan. Semangat Pattimura, semangat kita semua.