online-uttarakhand.com – Bayang-bayang kehancuran kembali menyelimuti tanah Suriah. Ya, Perang Saudara Suriah yang sempat mereda kini kembali membara. Setelah empat tahun tanpa dentuman bom besar, kota Aleppo dan wilayah utara Suriah kembali jadi ladang pertempuran. Konflik yang bermula pada 2011 ini memang bukan konflik biasa. Ini bukan sekadar perang antara dua pihak, tapi lebih seperti panggung besar di mana banyak aktor saling berebut peran, berebut pengaruh, berebut tanah, dan sayangnya nyawa warga sipil sering jadi korban tanpa peran.
Awal Mula Perang Saudara Suriah
Suriah bukan negara baru di peta kekacauan Timur Tengah. Sebelum 1946, negeri ini masih jadi mandat Prancis. Setelah merdeka, krisis politik silih berganti hingga akhirnya pada 1966, rezim militer Alawite merebut kekuasaan. Kelompok minoritas ini, yang menganut cabang Syiah, memimpin negeri yang mayoritas warganya adalah Muslim Sunni.
Hafez al-Assad, presiden kuat Suriah selama puluhan tahun, dikenal kejam terhadap oposisi. Ketika wafat pada 2000, kursi kekuasaan diwariskan kepada sang putra, Bashar al-Assad. Awalnya dianggap reformis, namun ia justru mengikuti jejak keras sang ayah.
Pada Maret 2011, ketika gelombang Arab Spring melanda kawasan, rakyat Suriah pun ikut bersuara. Tuntutan reformasi berubah jadi bentrokan. Protes damai dibalas dengan senapan. Dan sejak itulah, Perang Saudara Suriah resmi meletus.
Lansekap Politik dan Militer yang Terpecah
Suriah bukan hanya perang antara rakyat dan pemerintah. Lebih rumit dari itu. Di balik kabut konflik, banyak pihak terlibat, masing-masing dengan ambisi dan agenda terselubung yaitu:
1. Rezim Assad
Dengan dukungan kuat dari Rusia, Iran, dan milisi Hizbullah, Assad berhasil mempertahankan kekuasaan di sebagian besar wilayah penting. Meski digempur kritik internasional karena serangan brutal terhadap warga sipil, Assad tetap bergeming. Bagi rezim ini, setiap lawan adalah “teroris.”
2. Hayat Tahrir al-Sham
HTS, warisan dari kelompok al-Nusra yang dahulu berafiliasi dengan al-Qaeda, kini jadi kekuatan besar di barat laut Suriah. Mereka dikenal militan dan menguasai sejumlah kota, termasuk Aleppo. Diduga memiliki 15.000 pasukan, HTS juga punya struktur pemerintahan lokal di beberapa area.
3. Tentara Nasional Suriah
SNA adalah kelompok oposisi yang didukung oleh Turki. Kelompok ini sering bentrok dengan pasukan Kurdi, terutama YPG, karena kepentingan geopolitik Turki terhadap kelompok Kurdi yang dianggap ancaman dalam negeri.
4. Unit Perlindungan Rakyat
YPG merupakan kekuatan bersenjata utama dari komunitas Kurdi. Bersama Pasukan Demokratik Suriah (SDF), mereka pernah menjadi ujung tombak perlawanan terhadap ISIS. Meski awalnya di dukung AS, kini mereka menghadapi tekanan dari banyak sisi, termasuk dari Turki dan rezim Assad.
Baca juga: Fakta Perang yang Terus Menggentarkan Dunia
Keterlibatan Asing dalam Perang Saudara Suriah
Konflik ini ibarat catur geopolitik raksasa. Setiap negara besar ingin menancapkan bendera pengaruhnya di Suriah. Berikut empat pemain asing utama yang ikut campur tangan dalam Perang Saudara Suriah:
1. Amerika Serikat
AS awalnya diam-diam mendukung pemberontak demi menekan Assad. Namun fokus utama mereka berubah ke perlawanan terhadap ISIS. Serangan udara di lancarkan sejak 2014, dan pasukan khusus di kerahkan untuk membantu YPG. Setelah ISIS runtuh, AS memang mengurangi kehadiran, tapi masih menjaga pasukan kecil di timur laut Suriah.
2. Turki
Posisi Turki sangat kompleks. Mereka membantu pemberontak, ikut koalisi anti-ISIS, tapi juga menyerang pasukan Kurdi yang justru di dukung AS. Turki memandang YPG sebagai perpanjangan tangan PKK, kelompok separatis Kurdi yang mereka anggap teroris.
3. Iran
Iran mengerahkan elite militernya dari IRGC dan mendukung penuh Assad. Tujuan utamanya adalah menciptakan jalur darat dari Teheran ke Beirut melalui Irak dan Suriah—koridor strategis yang mempermudah suplai senjata ke Hizbullah di Lebanon.
4. Rusia
Masuk ke panggung pada 2015, Rusia jadi game-changer. Dukungan udaranya menyelamatkan Assad dari kekalahan. Lebih dari itu, Rusia juga mengamankan pangkalan militernya di Tartus dan Latakia. Kini, walau fokus ke Ukraina, Rusia masih menjaga kehadirannya di Suriah.
Mengapa Perang Saudara Suriah Belum Berakhir?
Satu dekade lebih, tapi kedamaian di Suriah terasa seperti fatamorgana. Apa sebabnya?
- Fragmentasi internal: Terlalu banyak kelompok dengan kepentingan berbeda.
- Campur tangan asing: Kepentingan global memperumit konflik lokal.
- Krisis kemanusiaan yang terus meluas: Jutaan pengungsi, ratusan ribu korban jiwa, dan trauma berkepanjangan.
- Tidak ada solusi politik yang solid: Upaya damai selalu kandas, baik karena kerasnya Assad maupun tidak kompaknya oposisi.
Penutup
Perang Saudara Suriah adalah kisah tentang sebuah negara yang di jerat kepentingan, baik dari dalam maupun luar. Ini bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah, tapi tentang siapa yang tersisa. Warga sipil menjadi korban utama dari pertarungan ego, ideologi, dan ambisi global.
Selama belum ada kesepakatan nyata, selama dunia masih menutup mata, perang ini mungkin akan terus menyala. Dan Suriah, negeri yang dulu di kenal indah, kini jadi simbol dari betapa rapuhnya peradaban jika kekuasaan lebih penting dari kemanusiaan.