Ngaku Pecinta Sejarah? Kamu Wajib Tahu Seruwet Apa Perang Padri Ini!

Perang Padri

Online-uttarakhand.com – Pernahkah kamu membaca ataupun mendengar sejarah Perang Padri atau Paderi? Buat yang belum tahu, Perang Padri adalah salah satu konflik paling panjang dalam sejarah Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1803 sampai 1838.

Gila sih, hampir 35 tahun lamanya! Walaupun sempat ada masa tenang alias gencatan senjata, nyatanya perang ini terus bergelora dan menyimpan banyak drama yang bikin geleng-geleng kepala. Nah, gimana sih ceritanya Perang Padri bisa terjadi dan apa dampaknya buat masyarakat Minangkabau saat itu? Yuk, langsung saja kita kupas tuntas di bawah ini!

Latar Belakang Perang Padri

Perang Padri terjadi di Sumatra Barat, khususnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung. Konflik ini bermula dari pertentangan dua kelompok utama dalam masyarakat Minangkabau yaitu kaum adat dan kaum padri.

Kaum adat adalah kelompok yang memegang teguh tradisi dan adat istiadat Minangkabau. Di sisi lain, kaum padri merupakan kelompok ulama yang ingin menegakkan ajaran Islam secara ketat, termasuk melarang kebiasaan seperti judi, sabung ayam, dan minum alkohol yang saat itu masih di lakukan sebagian masyarakat.

Tiga orang haji yang baru pulang dari Makkah, Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang mendorong gerakan reformasi Islam. Sayangnya, niat baik mereka di tolak oleh kaum adat. Mulailah muncul ketegangan yang makin hari makin panas.

Awal Mula Terjadinya Perang

Perselisihan ini akhirnya meledak jadi peperangan. Pada tahun 1815, Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum padri ke Kerajaan Pagaruyung. Bentrokan pertama terjadi di Koto Tangah, yang bikin Sultan Arifin Muningsyah terpaksa kabur dari ibu kota kerajaan.

Kaum adat pun terdesak. Karena nggak sanggup melawan sendiri, mereka akhirnya minta bantuan ke pihak Belanda. Di sinilah drama makin ruwet. Belanda, yang sejatinya adalah penjajah, malah jadi “sekutu” kaum adat demi memecah belah kekuatan lokal.

Peran Belanda dalam Konflik

Pada 1821, Belanda menerima permintaan bantuan dari kaum adat. Sebagai gantinya, wilayah Simawang dan Soli Air diserahkan ke Belanda. Nah, dari sini, Belanda mulai memainkan politik adu domba alias devide et impera. Kaum padri, yang dipimpin Tuanku Pasaman, jelas nggak tinggal diam. Mereka menyerang pos-pos Belanda di beberapa tempat. Tuanku Pasaman bahkan menolak surat ajakan damai dari Belanda dan terus melawan.

Belanda membalas dengan membangun benteng Fort van der Capellen di Batusangkar setelah berhasil mengusir kaum padri dari Pagaruyung. Tapi perlawanan kaum padri nggak berhenti. Di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, mereka berhasil memaksa Belanda mundur dalam pertempuran di Baso.

Gencatan Senjata, Damai yang Sementara

Masuk ke tahun 1825, situasi Belanda mulai terjepit. Di Jawa, mereka juga sedang terlibat dalam Perang Diponegoro. Belum lagi urusan mereka di Eropa. Kondisi ini bikin mereka kehabisan dana dan tenaga buat terus bertempur di Sumatra Barat. Akhirnya, Belanda mengajak gencatan senjata dengan kaum padri yang saat itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Perjanjian Masang diteken pada 15 November 1825.

Tuanku Imam Bonjol mulai berusaha menyatukan kembali masyarakat Minang. Dalam prosesnya, dia menyesali kekerasan yang sebelumnya terjadi antar sesama orang Minangkabau. Upayanya berbuah manis lewat kesepakatan Plakat Puncak Pato yang menggabungkan adat dan syariat Islam “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

Belanda Kembali Menyerang

Setelah Perang Diponegoro berakhir, Belanda punya lebih banyak tenaga buat kembali menguasai Sumatra Barat. Pada 1831, mereka menyerang wilayah Pandai Sikek dan membangun Benteng Fort de Kock di Bukittinggi. Serangan Belanda makin menggila. Mereka menyerbu dari berbagai arah, ingin menguasai kawasan pedalaman Minangkabau yang subur dan potensial buat perkebunan kopi.

Kaum padri dan kaum adat yang sudah berdamai pun kembali bersatu untuk melawan penjajah asing ini. Perlawanan mereka memuncak pada Januari 1833 saat gabungan dua kubu itu menyerang pos-pos pertahanan Belanda secara tiba-tiba. Belanda kalang kabut dan kehilangan banyak pasukan.

Strategi Baru Belanda

Kaget dengan persatuan masyarakat Minang, Belanda langsung mengubah strategi. Mereka mengeluarkan Plakat Panjang, semacam pengumuman yang menyatakan bahwa mereka hanya ingin berdagang, bukan menjajah. Mereka janji nggak bakal ganggu urusan adat dan pemerintahan lokal.

Tapi ya, seperti biasa, janji tinggal janji. Belanda tetap memaksakan sistem tanam paksa kopi dan menuntut penduduk jual hasil panennya ke pemerintah kolonial dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Tipikal penjajah, kan?

Akhir Perang Padri

Perlawanan kaum padri semakin sulit dilakukan karena terus ditekan oleh pasukan Belanda yang semakin banyak. Pada tahun 1837, pasukan Belanda berhasil mengepung Benteng Bonjol, markas pertahanan utama kaum padri.

Setelah pengepungan berbulan-bulan, Tuanku Imam Bonjol akhirnya tertangkap. Ia diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon, dan akhirnya wafat di Minahasa pada tahun 1864. Dengan tertangkapnya Imam Bonjol, Perang Padri pun resmi berakhir pada tahun 1838. Tapi perjuangan dan semangat rakyat Minangkabau tetap hidup dalam ingatan sejarah.

Baca juga: Kenapa Perang Korea Bisa Terjadi? Ini Jawaban Sejarah yang Bikin Merinding!

Kesimpulan

Perang Padri bukan sekadar konflik antar dua golongan, tapi juga simbol perjuangan melawan penjajah. Dalam rentang waktu yang panjang, masyarakat Minangkabau memperlihatkan bagaimana konflik internal bisa diselesaikan dan dijadikan kekuatan untuk melawan musuh bersama.

Sejarah ini juga ngajarin kita bahwa penjajah sering kali masuk lewat celah perpecahan dalam masyarakat. Kalau kita bersatu, nggak ada yang nggak bisa dilawan. Jadi, kisah Perang Padri bukan hanya milik masa lalu, tapi juga pelajaran buat masa depan. Kamu nggak mau kan sejarah ini terlupakan begitu aja? Yuk, terus jaga semangat persatuan dan pelajari sejarah bangsa sendiri!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *