Perang Bosnia, Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh

Perang Bosnia

Online-uttarakhand.com – Bayangkan kamu sedang duduk santai di rumah, menikmati sore yang tenang, tiba-tiba langit berubah gelap. Bukan karena mendung, tapi karena asap tebal dari ledakan. Jeritan terdengar dari kejauhan, bukan jeritan tawa, tapi jeritan ketakutan. Begitulah suasana yang meliputi Bosnia Herzegovina antara tahun 1992 hingga 1995. Bukan film perang, bukan pula dongeng sedih, ini adalah kenyataan pahit dari Perang Bosnia, salah satu konflik paling berdarah di Eropa pasca Perang Dunia II.

Perang ini bukan cuma soal wilayah. Bukan sekadar adu senjata. Tapi juga pertumpahan darah yang di picu oleh identitas, sejarah, dan dendam yang mengakar dalam di antara tiga kelompok utama yakni etnis Serbia Bosnia, Muslim Bosnia, dan Kroat Bosnia. Masing-masing membawa bara, dan ketika bara itu bersentuhan dengan percikan kecil, meledaklah neraka di tanah Balkan.

Akar Konflik, Retaknya Sebuah Bangsa

Perang Bosnia nggak muncul tiba-tiba. Awalnya, Yugoslavia adalah negara besar yang menyatukan berbagai suku dan agama. Tapi setelah kematian pemimpin kuat Tito dan runtuhnya komunisme, identitas nasional yang dulunya ditekan mulai mendesak ke permukaan. Ketika negara-negara bagian mulai memisahkan diri yakni Slovenia, Kroasia, lalu Bosnia, konflik pun meledak.

Bosnia Herzegovina sendiri dihuni oleh tiga kelompok utama yaitu Muslim Bosnia (Bosniak), Serbia Bosnia (yang mayoritas beragama Ortodoks), dan Kroat Bosnia (yang mayoritas Katolik). Ketika Bosnia menyatakan kemerdekaannya pada Maret 1992, Serbia Bosnia menolak. Mereka merasa dikhianati, menganggap ini sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi mereka. Dan di sinilah awal mula segalanya.

Tembakan di Hari Bahagia

Satu peristiwa yang bikin suasana makin panas terjadi di Sarajevo pada 30 Maret 1992. Seorang etnis Serbia sedang menikahkan anaknya. Tapi hari bahagia itu berubah jadi tragedi. Ketika iring-iringan pengantin keluar dari gereja, mereka ditembak. Ayah mempelai tewas, pendeta luka-luka, dan bendera Serbia yang dibawa ikut dihina. Penyerangnya? Seorang Muslim Bosnia. Meski dia ditangkap keesokan harinya, tapi amarah sudah terlanjur menyala. Tak ada jalan kembali.

Perang Tiga Arah

Perang Bosnia bukan cuma antara dua pihak, tapi tiga. Dan ini membuat segalanya lebih rumit. Awalnya, Serbia Bosnia berhadapan dengan Kroat Bosnia. Di desa Sijekovac, 35 anggota pasukan Kroasia menyerang penduduk Serbia Bosnia, membunuh 29 orang sipil, memperkosa 7 wanita, dan membunuh 3 di antaranya. Serangan brutal ini bikin perang meluas ke berbagai wilayah, dari utara sampai selatan Bosnia Herzegovina.

Tapi situasi makin kacau ketika Muslim Bosnia, yang awalnya sekutu Kroat, mulai bentrok juga dengan Kroat Bosnia. Jadi bayangkan, satu negara, tiga kubu, saling tembak, saling curiga, dan saling rebut wilayah. Siapa teman, siapa lawan itu semuanya berubah dalam sekejap.

Baca juga: Jejak Dibalik Blok Poros Perang Dunia 2, Kisah Ambisi dan Kekuasaan

Sarajevo, Kota yang Terluka

Sarajevo, ibu kota Bosnia, jadi simbol penderitaan paling nyata dalam perang ini. Kota itu di kepung oleh pasukan Serbia Bosnia selama hampir empat tahun. Warga sipil nggak bisa keluar masuk, makanan susah, air bersih langka, dan peluru bisa datang dari mana saja. Bahkan jalan untuk beli roti pun bisa jadi jalan menuju maut. Sniper mengintai dari bukit-bukit. Bom jatuh sembarangan.

Salah satu titik strategis yang jadi rebutan adalah Foca, Jablanica, dan bukit Igman. Dari tempat-tempat ini, siapa pun yang menguasai bisa mengendalikan Sarajevo. Dan semua pihak tahu itu. Jadi mereka bertarung mati-matian, membuat kota jadi medan perang yang panjang dan penuh luka.

Dunia Menyaksikan, Tapi Lambat Bertindak

Meski dunia melihat tragedi ini lewat televisi, reaksi internasional awalnya lambat. Organisasi-organisasi besar seperti PBB sempat mengirim pasukan penjaga perdamaian, tapi kekuatan mereka terbatas. Sementara itu, etnis Muslim Bosnia jadi korban paling besar. Banyak kamp konsentrasi di temukan, di mana penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan sistematis terjadi.

Dan klimaks kengerian itu terjadi di Srebrenica, saat lebih dari 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim di bantai dalam waktu singkat oleh pasukan Serbia Bosnia. Genosida di jantung Eropa. Dunia akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.

Perjanjian Dayton, Damai yang Dipaksakan

Akhirnya, setelah lebih dari tiga tahun darah tertumpah, tekanan dari negara-negara besar memaksa semua pihak untuk duduk bersama. Di pangkalan udara Dayton, Ohio, AS, ketiga pihak menandatangani perjanjian damai pada akhir 1995. Bosnia tetap utuh secara geografis, tapi terbagi dalam dua entitas yakni Federasi Bosnia dan Herzegovina (untuk Muslim dan Kroat), serta Republik Srpska (untuk etnis Serbia).

Meski perang secara resmi selesai, bekas luka masih terasa. Sampai hari ini, Bosnia Herzegovina masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Hubungan antar-etnis tetap rapuh, kepercayaan sulit dibangun ulang, dan politiknya pun kompleks, penuh kompromi yang rapuh.

Luka yang Tak Terlihat

Perang Bosnia bukan sekadar cerita sejarah. Ini adalah pengingat bahwa identitas bisa jadi senjata, dan perbedaan bisa berubah jadi bara jika tak dijaga dengan bijak. Ribuan nyawa melayang, jutaan orang mengungsi, dan generasi baru tumbuh di atas reruntuhan harapan. Kalau kamu bertanya, apa arti dari semua ini?

Jawabannya sederhana tapi menyakitkan yakni ketika manusia lupa pada kemanusiaannya, perang bukan lagi soal menang atau kalah, tapi soal siapa yang tersisa untuk menguburkan kenangan. Perang Bosnia, meski telah berakhir di atas kertas, masih berdetak di jantung mereka yang selamat. Dan dunia, semoga tak lupa bahwa di balik angka dan statistik, ada nyawa, ada cerita, dan ada luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *