Online-uttarakhand.com – Sudah Pernah Anda mendengar istilah “politik keluarga” yang begitu kuat mengakar hingga tak tergoyahkan? Salah satu contohnya bisa Anda lihat dari kisah Dinasti Atut di Banten. Fenomena ini bukan hanya soal kursi kekuasaan yang diwariskan secara politik, tapi juga tentang bagaimana sebuah jaringan keluarga bisa begitu berpengaruh dalam dunia pemerintahan daerah.
Di balik sorotan kamera, penuh ambisi, strategi, dan tentu saja kontroversi. Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri bagaimana jejak kekuasaan Dinasti Atut terbentuk, bertahan, dan bahkan mengguncang publik.
Asal Mula Kemunculan Dinasti Atut di Banten
Fenomena Dinasti Atut di Banten bermula dari sosok Ratu Atut Chosiyah, tokoh sentral dalam percaturan politik Banten. Ia mulai mencuat ke permukaan ketika di tunjuk menjadi Wakil Gubernur Banten pada 2001, lalu naik menjadi Gubernur menggantikan H. Djoko Munandar yang terjerat kasus korupsi.
Ratu Atut adalah putri dari Tubagus Chasan Sochib, seorang tokoh penting di Banten yang di kenal luas sebagai pengusaha dan tokoh masyarakat. Sosok Sochib bukan hanya ayah, tapi juga arsitek dari struktur kekuasaan yang kemudian di kenal sebagai Dinasti Atut. Dari sinilah, perlahan tapi pasti, jejaring keluarga Atut mulai mengisi berbagai posisi strategis dalam pemerintahan maupun legislatif.
Banten yang baru saja menjadi provinsi mandiri kala itu, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kekuasaan keluarga ini. Infrastruktur pemerintahan yang masih muda menjadi celah untuk pembentukan loyalitas dan kontrol dalam berbagai lini.
Jaringan Keluarga dalam Kekuasaan
Ratu Atut tak berjalan sendiri. Beberapa anggota keluarganya juga menduduki posisi penting. Misalnya, adik tirinya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, di kenal luas sebagai pengusaha yang banyak terlibat dalam proyek-proyek pemerintahan. Kemudian ada juga Airin Rachmi Diany, ipar Ratu Atut, yang menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan selama dua periode.
Lalu ada nama Andika Hazrumy, putra Ratu Atut, yang sempat menjabat sebagai Wakil Gubernur Banten. Selain itu, kerabat dekat mereka juga aktif di DPR, DPRD, hingga jabatan birokrat daerah. Dalam catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), struktur kekuasaan keluarga ini menyebar secara sistematis dan mengakar kuat di berbagai instansi.
Dominasi Politik Lokal
Fenomena ini di sebut sebagai praktik dinasti politik, yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh satu kelompok keluarga dan terus di wariskan atau di kendalikan secara internal. Dalam konteks Dinasti Atut di Banten, ini terlihat jelas dari dominasi keluarga dalam pemilihan kepala daerah, legislatif, hingga posisi strategis pemerintahan.
Fenomena seperti ini bukan tanpa dampak. Ketika kekuasaan terlalu terkonsentrasi, kontrol publik melemah. Banyak kebijakan dan proyek yang tidak terpantau secara optimal karena pengawasan internal pun di kuasai jaringan yang sama.
Kontroversi dan Kasus Korupsi
Pada 2014, Ratu Atut tersandung kasus korupsi terkait suap sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Ia di jatuhi hukuman oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti menyuap Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, agar memenangkan gugatan Pilkada Lebak yang di ajukan adik iparnya. Kasus ini mengguncang dunia politik Banten dan Indonesia secara luas.
Selain itu, ia juga terlibat dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Putusan akhir menjatuhkan hukuman penjara yang cukup lama untuknya, menjadikan kasus ini sebagai titik kritis dalam sejarah Dinasti Atut.
Dampak terhadap Citra Politik Daerah
Dampak dari kasus ini tidak hanya menyangkut reputasi keluarga Atut, tapi juga merusak citra pemerintahan Banten secara keseluruhan. Banyak publik mulai mempertanyakan integritas pejabat daerah dan maraknya praktik nepotisme yang tersembunyi di balik jargon pelayanan masyarakat.
KPK menyebutkan bahwa struktur kekuasaan yang bersifat dinastik rentan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme karena minimnya check and balance dalam sistem pemerintahan.
Baca juga: Jejak Peradaban Arab Pra-Islam di Tanah yang Gersang
Reformasi dan Perlawanan terhadap Dinasti Politik
Setelah kejatuhan Ratu Atut, muncul berbagai gerakan masyarakat sipil yang menuntut reformasi dan menolak praktik politik dinasti. Lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, dan tokoh-tokoh independen mulai aktif menyuarakan pentingnya transparansi dalam pemilihan kepala daerah dan pejabat publik.
Upaya Regulasi Dinasti Politik
Pemerintah pusat sempat mengusulkan aturan larangan politik dinasti dalam revisi UU Pilkada, meski akhirnya batal diterapkan. Namun, diskursus ini tetap hangat dan menjadi sorotan dalam setiap kontestasi politik daerah.
Banten sendiri perlahan mulai membuka ruang bagi tokoh-tokoh non-dinasti untuk tampil. Meski demikian, bayang-bayang kekuasaan Dinasti Atut di Banten masih terasa, terutama karena beberapa anggotanya masih aktif dalam dunia politik hingga saat ini.
Fenomena Dinasti Atut di Banten bukan sekadar catatan sejarah lokal, tapi menjadi cermin bagaimana sistem politik di daerah bisa dikendalikan oleh jaringan keluarga secara masif. Meski dominasi mereka sempat terguncang oleh kasus korupsi besar, jejak kekuasaan yang mereka tinggalkan masih menjadi pelajaran penting bagi demokrasi di Indonesia.
Bagi Anda yang peduli akan masa depan politik yang bersih dan adil, kisah ini mengajarkan satu hal penting: bahwa kekuasaan harus diawasi, tidak boleh hanya diturunkan. Karena jika tidak, politik bukan lagi soal pelayanan publik, tapi hanya ajang warisan keluarga.
Dinasti Atut di Banten memang telah menorehkan sejarah, tapi apakah kita akan terus membiarkannya menjadi pola yang berulang? Jawabannya ada di tangan Anda sebagai pemilih, sebagai warga, sebagai bagian dari perubahan.