Online-uttarakhand.com – Bulan Desember selalu datang membawa semangat baru. Lampu warna-warni menggantung, lagu Natal mengalun di pusat perbelanjaan, dan gereja-gereja mulai bersiap menyambut hari besar umat Kristiani yaitu Natal. Pada tanggal 25 Desember, dunia mengenang kelahiran tokoh yang tak pernah lekang oleh waktu yaitu Yesus. Tapi, apakah kita benar-benar tahu sejarah Yesus secara utuh?
Sejarah Yesus bukan cuma soal keyakinan. Ia adalah sebuah kisah yang menyusup di antara selapis iman, sepenggal pengaruh budaya, dan secuil politik kekuasaan yang membentuk fondasi agama terbesar kedua di dunia ini. Yuk kita kulik bersama-sama tentang sejarah Yesus agar kamu tahu lebih dalam.
Siapa Sebenarnya Yesus?
Dalam ajaran Kristen, Yesus dikenal sebagai anak Allah yang lahir dari seorang perawan bernama Maria. Kisah ini jadi pusat dari banyak perayaan dan refleksi iman umat Kristen. Namun, sejarah Yesus menyimpan lebih dari sekadar narasi kelahiran suci.
Dalam bahasa Ibrani, ia dikenal sebagai Yeshua. Umat Muslim menyebutnya Nabi Isa a.s., sedangkan dalam Al-Qur’an, beliau disebut sebagai Isa al-Masih atau Masih Ibnu Maryam. Nama boleh berbeda, tapi sosoknya sama seorang tokoh spiritual besar yang mengajarkan kasih, keadilan, dan kejujuran.
Trinitas, Akar Keyakinan atau Warisan Paganisme?
Salah satu konsep penting dalam kekristenan modern adalah Trinitas, yaitu keyakinan bahwa Tuhan adalah satu dalam tiga pribadi yaitu Allah Bapa, Yesus Sang Anak, dan Roh Kudus. Dalam konteks sejarah Yesus, konsep ini tidak muncul begitu saja.
Menariknya, konsep tiga tuhan dalam satu kesatuan sebenarnya pernah muncul dalam kepercayaan pagan kuno. Di India, misalnya, ada Trimurti yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Syiwa (penghancur). Di Mesir kuno, terdapat Oziris, Isis, dan Horus.
Bahkan di Persia ada Ahura Mazda, Mithra, dan Stauda. Beberapa peneliti meyakini bahwa kepercayaan ini memberi warna pada konstruksi teologi Kristen awal. Namun, tentu saja tidak semua umat Kristen menyetujui konsep Trinitas. Sejarah mencatat pertentangan tajam antara dua aliran besar yaitu Unitarian dan Trinitarian.
Arius vs Athanasius, Perpecahan Besar dalam Kekristenan Awal
Di abad ke-4 Masehi, dua tokoh besar menjadi simbol dari perpecahan teologis yaitu Arius, yang mengusung paham Unitarian (hanya Allah yang merupakan Tuhan), dan Athanasius, sang pembela Trinitas.
Pertarungan teologis ini begitu sengit hingga menimbulkan kekacauan di Kekaisaran Romawi. Kaisar Konstantinus, yang awalnya adalah penganut paganisme, merasa perlu turun tangan. Maka digelarlah Konsili Nicea pada tahun 325 M sebuah musyawarah besar untuk menentukan arah teologi resmi Kristen.
Di sinilah terjadi perdebatan tentang istilah “homousios” apakah Yesus serupa atau sewujud dengan Allah? Athanasius memenangi perdebatan. Maka, sejak saat itu, Kristen Trinitarian ditetapkan sebagai ajaran resmi Kekaisaran Romawi.
Baca juga: Sejarah Dakwah Nabi Muhammad SAW Lengkap: Jejak Cahaya di Tengah Kegelapan
Pengaruh Kekuasaan dalam Pembentukan Doktrin
Tak berhenti di situ. Karena penganut Unitarian menolak tunduk, Kaisar Theodosius Agung menggelar Konsili Konstantinopel pada 381 M. Hasilnya lebih tegas, Yesus, Allah, dan Roh Kudus disahkan sebagai satu wujud dalam tiga pribadi. Siapa pun yang menentang, akan dianggap sesat dan musuh negara.
Tak lama kemudian, di bentuklah lembaga inkusisi untuk memburu para pengikut Arius. Buku-buku di bakar, pengikut Unitarian di bunuh atau di asingkan. Sejak itu, ajaran Trinitas berkembang luas dan menjadi wajah utama Kekristenan dunia.
Namun dalam sejarah Yesus, titik ini jadi penting. Ia menunjukkan bagaimana keyakinan bisa di bentuk, di dorong, bahkan di paksakan oleh kekuasaan politik. Yesus yang sederhana, yang dulunya mengajar dari desa ke desa, kini di angkat menjadi bagian dari sistem yang kompleks.
Jejak Arius yang Tersisa
Meski telah di tekan habis-habisan, ajaran Arius tidak sepenuhnya punah. Hingga hari ini, masih ada kelompok-kelompok kecil di berbagai penjuru dunia yang mengusung keyakinan Unitarian percaya bahwa hanya Allah yang sejati sebagai Tuhan, dan Yesus hanyalah nabi atau utusan-Nya.
Sementara itu, umat Islam meyakini Yesus (Isa a.s.) sebagai nabi besar, bukan Tuhan. Dalam Islam, konsep ketuhanan tetap tunggal yaitu Tauhid. Isa di hormati, tetapi tidak di sembah. Kitab suci Al-Qur’an menjaga kemurnian ini dengan sangat ketat, menjadikan konsep tauhid sebagai pondasi yang tak tergoyahkan.
Melihat sejarah Yesus, kita tak hanya bicara tentang seorang tokoh religius. Kita sedang menggali kisah yang penuh tafsir, di tulis ulang oleh zaman, di bentuk oleh kekuasaan, dan di wariskan dengan penuh dinamika.
Bagi umat Kristen, Yesus adalah Tuhan yang turun ke dunia untuk menebus dosa. Bagi umat Islam, Yesus adalah nabi mulia yang mengajarkan jalan lurus. Dan bagi sejarawan, Yesus adalah pribadi revolusioner yang mengubah arah sejarah manusia.
Apa pun keyakinan kita, memahami sejarah Yesus secara utuh membantu kita untuk lebih menghargai perbedaan. Bukan untuk memaksakan kepercayaan, tapi untuk membangun jembatan dialog. Karena pada akhirnya, kasih dan kebaikan yang di ajarkan Yesus-lah yang seharusnya jadi warisan bersama umat manusia.