Online-uttarakhand.com – Saat kita berbicara tentang sosok pahlawan perempuan Indonesia, nama Cut Nyak Dien selalu menjadi ikon yang tak lekang oleh waktu. Di balik paras lembutnya, tersimpan keberanian luar biasa dalam menantang kekuatan kolonial Belanda. Siapa sebenarnya Cut Nyak Dien? Mengapa namanya terus dikenang bahkan hingga lebih dari seabad setelah wafatnya? Inilah kisah nyata yang lebih dahsyat dari sekadar legenda.
Awal Kehidupan Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien lahir pada 12 Mei 1848 di wilayah VI Mukim, Aceh Besar, dari keluarga bangsawan religius. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia, adalah seorang uleebalang terkemuka. Sejak kecil, dia sudah mendapat pendidikan agama dan tata kehidupan rumah tangga.
Kecantikannya di kenal luas, dan ia di nikahkan di usia muda, tepatnya pada tahun 1862, dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Pernikahan itu melahirkan seorang putra dan membawa Dien ke dalam kehidupan yang lebih keras: pertempuran melawan penjajahan.
Terjun ke Medan Perang
Perang Aceh meletus pada 1873, saat Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh. Suami Cut Nyak Dien, Ibrahim Lamnga, gugur dalam pertempuran di Gle Tarum pada 29 Juni 1878. Peristiwa itu mengubah hidupnya. Ia bersumpah akan membalas kematian suaminya dengan mengangkat senjata sendiri melawan penjajah.
Pada tahun 1880, dia menikah dengan Teuku Umar, seorang pejuang karismatik Aceh. Mereka bertempur bersama, mengatur strategi perang gerilya, dan mempermalukan Belanda dengan serangan-serangan mendadak yang mematikan. Pernikahan ini melahirkan Cut Gambang, yang kelak meneruskan perjuangan orang tuanya.
Baca juga: Fakta Perang yang Terus Menggentarkan Dunia
Strategi Perlawanan dan Pengkhianatan Terencana
Salah satu taktik perang paling fenomenal terjadi ketika Teuku Umar pura-pura menyerah kepada Belanda pada 1893. Ia di beri gelar dan jabatan militer, namun kemudian membawa kabur senjata dan logistik dari Belanda untuk kembali menyerang mereka. Strategi ini di kenal sebagai “Pengkhianatan Teuku Umar” yang justru menjadi pukulan telak bagi Belanda.
Namun pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran. Kehilangan suami untuk kedua kalinya, Cut Nyak Dien tetap teguh melanjutkan perlawanan. Dengan pasukan kecil dan kondisi tubuh yang lemah, rabun dan terkena encokia tetap memimpin di garis depan, terutama di wilayah pedalaman Meulaboh.
Baca juga: Julius Caesar, Jenderal Brilian hingga Mengubah Sejarah Roma
Penangkapan dan Pengasingan
Pada 1901, pasukan Cut Nyak Dien semakin lemah. Salah satu anak buahnya, Pang Laot, melaporkan lokasi mereka kepada Belanda karena iba melihat kondisi sang pemimpin. Dia akhirnya di tangkap dan di bawa ke Banda Aceh. Karena di anggap masih berbahaya dan berpotensi membakar semangat rakyat Aceh, ia di asingkan ke Sumedang, Jawa Barat, pada 1906.
Di sana, identitasnya di samarkan. Warga mengenalnya sebagai “Ibu Perbu”, sosok tua yang di hormati dan di kenal sebagai guru mengaji. Ia wafat pada 6 November 1908 dan di makamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Makamnya baru di ketahui secara pasti pada tahun 1959 setelah penyelidikan oleh pemerintah Aceh.
Pengakuan dan Warisan
Cut Nyak Dien di angkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 2 Mei 1964 melalui Keputusan Presiden RI No.106/1964. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Nagan Raya, dan kisahnya diabadikan dalam berbagai karya seni, termasuk film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang memenangkan banyak penghargaan nasional dan internasional.
Kisah hidup Cut Nyak Dien bukan hanya tentang perlawanan fisik, tetapi juga simbol keteguhan, cinta tanah air, dan keberanian perempuan dalam melawan ketidakadilan. Ia membuktikan bahwa semangat juang tak mengenal jenis kelamin, usia, ataupun keadaan fisik. Namanya akan terus bergema di setiap nadi perjuangan bangsa Indonesia.