Menguak Jejak Sejarah Aqiqah, Dari Tradisi Jahiliyah hingga Tuntunan Islam

sejarah aqiqah

Online-uttarakhand.com – Bicara soal ibadah dalam Islam memang tak pernah habis maknanya. Salah satunya adalah aqiqah, sebuah amalan yang sering kali terdengar tapi belum tentu semua orang memahami latar belakangnya. Pernahkah anda bertanya-tanya bagaimana sebenarnya sejarah aqiqah itu bermula? Mengapa umat Islam melaksanakan penyembelihan hewan untuk bayi yang baru lahir, dan apa saja perubahan dari masa ke masa?

Nah, artikel ini akan mengajak anda menyelami jejak sejarah aqiqah, bukan hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai tradisi yang mengandung makna mendalam!

Sejarah Aqiqah di Masa Jahiliyah

Aqiqah bukan sekadar seremoni penyembelihan kambing untuk menyambut kelahiran bayi. Lebih dari itu, aqiqah adalah bentuk ekspresi rasa syukur yang telah di kenal sejak lama, bahkan sebelum datangnya Islam. Dalam sejarah aqiqah, masyarakat Arab Jahiliyah sudah mengenal praktik serupa. Namun, Islam datang dengan menyempurnakan tata cara dan makna dari aqiqah itu sendiri.

Sebelum Islam menyinari jazirah Arab, masyarakat di sana telah memiliki tradisi menyembelih kambing saat anak mereka lahir. Menariknya, mereka bahkan melumuri darah hewan sembelihan ke kepala si bayi, sebuah ritual yang di anggap sakral saat itu. Sejarah ini di kisahkan dalam hadis riwayat Abu Dawud, bahwa pada masa jahiliyah, jika seseorang memiliki anak, mereka menyembelih kambing dan melumuri darahnya ke kepala bayi.

Tradisi tersebut kemudian di ganti oleh Rasulullah SAW dengan sunnah mencukur rambut dan melumurinya dengan minyak wangi, sebagai bentuk penyucian dan doa. Transformasi ini menjadi titik awal perubahan makna aqiqah dalam sejarah aqiqah, dari yang bersifat mistik menuju ibadah yang berlandaskan syariat dan nilai spiritual.

Aqiqah dalam Ajaran Islam

Ketika Islam datang, aqiqah tidak di hapus, melainkan di sempurnakan. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa aqiqah adalah bentuk ibadah yang menunjukkan syukur atas kelahiran seorang anak. Dalam hadis, di ceritakan bahwa Rasulullah mengaqiqahkan kedua cucunya, Hasan dan Husein, masing-masing dengan satu kambing.

Aisyah RA juga meriwayatkan bahwa anak perempuan di aqiqahkan dengan satu kambing, dan anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Dalam perkembangan sejarah aqiqah, Rasulullah SAW tidak hanya mengganti tata cara jahiliyah, tetapi juga menegaskan nilai ibadah dalam aqiqah, yang sarat dengan makna kebersihan jiwa dan solidaritas sosial.

Hukum Aqiqah Menurut Para Ulama

Perjalanan sejarah aqiqah tak lepas dari perbedaan pandangan ulama mengenai hukumnya. Sebagian menyatakan bahwa aqiqah adalah wajib, mengacu pada hadis yang menyebutkan bahwa anak tergadai dengan aqiqahnya. Mereka yang berpendapat demikian percaya bahwa orang tua memiliki tanggung jawab terhadap ibadah ini.

Namun, mayoritas ulama seperti Imam Syafi’i berpandangan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah, yakni ibadah yang sangat dianjurkan. Bahkan ada juga ulama yang menganggap aqiqah bersifat sukarela, bukan kewajiban maupun sunnah.

Perbedaan ini memperkaya pemahaman kita terhadap sejarah aqiqah, yang ternyata dinamis dan terbuka terhadap penafsiran, selama tetap berada dalam koridor syariat.

Tata Cara Pelaksanaan Aqiqah

Melihat dari sejarahnya yang telah ditata ulang oleh Rasulullah, tata cara aqiqah kini menjadi lebih terstruktur. Aqiqah idealnya dilaksanakan pada hari ke-7 setelah kelahiran bayi. Namun, jika belum memungkinkan, bisa juga pada hari ke-14 atau ke-21.

Untuk anak laki-laki, disembelih dua ekor kambing, sementara untuk anak perempuan satu ekor kambing. Penyembelihan dilakukan dengan membaca doa khusus sebagai bentuk permohonan penerimaan ibadah dan perlindungan bagi bayi.

Dalam sejarah aqiqah, doa-doa ini menjadi bagian penting dari proses spiritual, tidak hanya sebagai simbolis, tetapi juga sebagai permohonan perlindungan kepada Allah SWT bagi si kecil yang baru saja hadir ke dunia.

Tak hanya orang tua, biaya aqiqah juga boleh di tanggung oleh anggota keluarga lain. Bahkan, anak yang telah dewasa dan memiliki penghasilan pun boleh mengaqiqahkan dirinya sendiri jika orang tuanya belum sempat melakukannya.

Baca juga: Sejarah Imlek, Jejak Waktu di Balik Tahun Baru China

Hikmah Aqiqah dalam Kehidupan

Setiap amalan dalam Islam selalu membawa hikmah, termasuk aqiqah. Dari sudut pandang sejarah aqiqah, ibadah ini telah menjadi simbol syukur dan sekaligus pembeda antara praktik jahiliyah dan ibadah Islam yang lebih bermakna.

Pertama, aqiqah adalah bentuk syukur atas karunia anak. Kedua, menjadi sarana untuk meneladani Rasulullah. Ketiga, mempererat silaturahmi dan berbagi kebahagiaan dengan sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan.

Sejarah aqiqah juga mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang tidak meniadakan tradisi, tetapi menyempurnakannya dengan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan.

Sejarah Aqiqah, Refleksi dan Pelajaran

Menyelami sejarah aqiqah bukan hanya soal mengetahui asal-usulnya, tetapi juga memahami transformasi nilai dan makna di dalamnya. Dari praktik jahiliyah yang bersifat mistik, aqiqah kini menjadi bentuk ibadah yang mengandung nilai sosial, spiritual, dan kasih sayang.

Jika anda sedang mempertimbangkan untuk melaksanakan aqiqah, maka mempelajari sejarah aqiqah akan memberi pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya ibadah ini. Aqiqah bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi juga menyambut kehidupan baru dengan penuh syukur dan harapan.

Melalui sejarah aqiqah, kita diajak untuk terus menghidupkan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan, dengan penuh cinta, makna, dan keberkahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *