Perang Shiffin, Titik Balik Terpecahnya Umat Islam di Awal Sejarah Kekhalifahan

Perang Shiffin

Online-uttarakhand.com – Pernahkah kamu membayangkan sebuah pertempuran yang bukan sekadar konflik politik, tapi juga menjadi pemicu perpecahan besar dalam sejarah Islam? Itulah Perang Shiffin, sebuah peristiwa berdarah yang melibatkan dua tokoh besar umat Islam, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah I. Terjadi di tanah Shiffin, Suriah, perang ini bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga menyisakan luka sejarah yang masih terasa hingga kini.

Dalam artikel ini, kita akan mengulas penyebab, kronologi, dan dampak dari Perang Shiffin secara menyeluruh, untuk membantumu memahami kompleksitas sejarah Islam di masa awal.

Penyebab Perang Shiffin

Sebelum konflik pecah, ada rentetan peristiwa yang menjadi latar belakang terjadinya Perang Shiffin. Salah satu penyebab utama adalah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 M oleh sekelompok pemberontak. Ali bin Abi Thalib kemudian di angkat menjadi khalifah, namun pengangkatannya ini di tolak oleh sebagian umat Islam, termasuk Muawiyah I, gubernur Suriah sekaligus kerabat Utsman dari Bani Umayyah.

Muawiyah menuntut agar pembunuh Utsman segera di tangkap sebelum ia mengakui kekhalifahan Ali. Sayangnya, tuntutan ini tak kunjung di penuhi. Ali mencoba menempuh jalan damai dengan mengirim utusan, namun upaya tersebut gagal. Maka, jalan menuju Perang Shiffin pun terbuka lebar, menyulut konflik besar yang tak bisa di hindari lagi.

Kronologi Perang Shiffin

Perang Shiffin berlangsung pada 26-28 Juli 657 M, di sebuah desa bernama Shiffin yang terletak antara Suriah dan Irak. Dua pasukan besar saling berhadapan, pasukan Ali yang berjumlah sekitar 90.000 orang, di pimpin langsung oleh Malik bin Al-Harith; dan pasukan Muawiyah yang terdiri atas 120.000 prajurit, di pimpin oleh Amr bin Al-Ash.

Pada hari pertama, keunggulan berada di pihak Muawiyah. Bahkan, Amr bin Al-Ash nyaris membunuh Ali dalam sebuah duel. Namun pasukan Ali bangkit dan berhasil mengubah keadaan. Malik bin Al-Harith melancarkan serangan masif yang membuat Muawiyah hampir melarikan diri dari medan pertempuran. Dalam waktu tiga hari, korban jiwa sangat besar, 45.000 dari kubu Muawiyah dan 25.000 dari pihak Ali.

Ketika kekalahan mulai menghantui, Muawiyah meminta dilakukannya tahkim atau arbitrase untuk menyelesaikan konflik secara damai. Maka, Perang Shiffin pun dihentikan dan memasuki babak baru yang tak kalah menentukan.

Peristiwa Tahkim dan Keputusan Kontroversial

Peristiwa tahkim adalah momen penting yang mengakhiri Perang Shiffin secara formal. Tahkim merupakan perundingan yang melibatkan dua wakil dari masing-masing pihak, Abu Musa al-Asy’ari mewakili Ali dan Amr bin Al-Ash mewakili Muawiyah. Tujuannya adalah mencari titik damai dan menyelesaikan persoalan politik yang sudah mengorbankan puluhan ribu nyawa.

Namun, hasil tahkim justru menimbulkan kontroversi. Abu Musa dan Amr sempat sepakat untuk menyingkirkan kedua pemimpin. Tapi secara sepihak, Amr malah menyatakan dukungan terhadap Muawiyah. Ali dan para pendukungnya merasa dikhianati. Banyak dari mereka kecewa, karena merasa perjuangan mereka sia-sia dan hasilnya tidak adil. Keputusan tahkim malah memperkeruh situasi, dan benih perpecahan pun semakin tumbuh subur di kalangan umat Islam.

Baca juga: Jangan Lewatkan! Ini Dia Kisah Heroik Perang Pattimura

Dampak Perang Shiffin terhadap Dunia Islam

Dampak dari Perang tersebut begitu besar dan panjang. Selain meninggalkan luka dan korban jiwa, perang ini memecah umat Islam ke dalam beberapa kelompok utama, seperti Syiah, Sunni, dan Khawarij. Kelompok Khawarij lahir dari kekecewaan terhadap hasil tahkim dan kemudian menjadi kelompok radikal yang memusuhi Ali dan Muawiyah sekaligus.

Khawarij bahkan menjadi penyebab terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M. Setelah kematian Ali, Muawiyah I mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan mendirikan Kekhalifahan Umayyah. Inilah awal dari sistem dinasti dalam kepemimpinan Islam, menggantikan sistem Khulafaur Rasyidin yang sebelumnya lebih bersifat musyawarah dan tidak turun-temurun.

Secara politis, Perang Shiffin mengubah arah pemerintahan dalam Islam. Dari sistem kolektif ke sistem monarki. Secara sosial, umat Islam yang sebelumnya bersatu, kini terpecah dan membawa perbedaan ideologis hingga berabad-abad kemudian.

Warisan Sejarah Perang Shiffin dalam Dunia Islam

Sebagai salah satu konflik internal paling awal dalam sejarah Islam, perang tersebut meninggalkan warisan yang sangat mendalam bagi umat Muslim. Pertempuran ini tidak hanya mengguncang fondasi politik kekhalifahan, tetapi juga menandai perpecahan awal umat Islam yang memicu munculnya kelompok-kelompok dengan ideologi berbeda, seperti Sunni, Syiah, dan Khawarij.

Dampak dari Perang Shiffin bahkan masih terasa hingga kini, terutama dalam wacana teologi dan politik Islam. Banyak ulama dan sejarawan mengkaji ulang peristiwa ini untuk memahami dinamika kekuasaan, keadilan, serta pentingnya rekonsiliasi dalam menghadapi perbedaan. Konflik ini juga menjadi cerminan betapa besar pengaruh kepemimpinan terhadap persatuan umat, terutama ketika keadilan dipertanyakan dan kekuasaan menjadi taruhan utama.

Pelajaran dari Perang Shiffin

Perang Shiffin adalah sebuah babak penting dalam sejarah Islam yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Perang ini bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga mencerminkan kompleksitas hubungan antarumat Islam saat itu. Dari pembunuhan Utsman, ketegangan politik, hingga arbitrase yang penuh intrik, semua menjadi potret dinamika awal kekhalifahan Islam.

Melalui pemahaman atas Perang tersebut, kita diajak untuk melihat bagaimana konflik yang tidak diselesaikan dengan bijak bisa meninggalkan dampak panjang, bahkan hingga generasi berikutnya. Maka, penting bagi kita hari ini untuk menjadikan sejarah sebagai cermin, agar perpecahan serupa tak lagi terulang. Karena pada akhirnya, Perang Shiffin bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga pelajaran besar untuk masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *