Online-uttarakhand.com – Jika kamu pernah mendengar tentang perang-perang besar dalam sejarah Islam, mungkin Perang Badar atau Perang Uhud yang pertama kali terlintas di benakmu. Tapi, tahukah kamu bahwa ada satu pertempuran dahsyat yang tidak kalah menggetarkan, namun kerap luput dari perhatian? Inilah Perang Mu Tah, perang yang mempertemukan 3.000 pasukan muslim dengan 200.000 tentara kekaisaran Romawi Byzantium dan sekutunya.
Bukan soal jumlah, tapi tentang strategi, kepemimpinan, dan semangat pantang menyerah yang patut dikenang sepanjang masa. Penasaran? Mari kita gali lebih dalam mengenai Sejarah Perang Mu Tah ini!
Latar Belakang Meletusnya Perang Mu Tah
Sebelum Perang Mu Tah terjadi, sebuah kejadian tragis memicu kemarahan umat Islam. Al-Harits bin Umair Al-Azdi, utusan Rasulullah SAW, dibunuh secara brutal oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur di bawah kekuasaan Bizantium. Padahal, membunuh utusan diplomatik kala itu adalah pelanggaran berat yang berarti menyatakan perang secara tidak langsung.
Nabi Muhammad SAW tidak tinggal diam. Sebagai balasan atas pembunuhan tersebut, Rasulullah mengirimkan 3.000 pasukan muslim menuju daerah Syam. Tiga panglima telah ditunjuk secara berurutan, Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, siapa sangka, semua panglima tersebut gugur satu per satu di medan laga.
Kekuatan yang Tidak Sebanding
Sebelum bertempur, pasukan muslim yang tiba di Ma’an mendengar kabar mengejutkan, Kaisar Heraklius dari Bizantium telah mengumpulkan 100.000 tentaranya, ditambah dukungan dari suku-suku Arab Kristen Ghassanid, sehingga total menjadi 200.000 pasukan. Bandingkan dengan jumlah pasukan muslim yang hanya 3.000 orang.
Perbandingan kekuatan yang sangat timpang ini membuat sebagian pasukan muslim ingin mengirimkan laporan kepada Nabi Muhammad dan menunggu instruksi lanjutan. Namun, Abdullah bin Rawahah menolak ide itu dan menyemangati pasukan agar terus maju. Ia berkata, “Kita tidak berperang karena jumlah atau kekuatan, melainkan karena agama yang kita bela!”
Keputusan untuk tetap melanjutkan Perang Mu Tah akhirnya diambil. Ini bukan hanya perang fisik, melainkan juga ujian keimanan dan keberanian.
Kepemimpinan Berganti di Tengah Perang
Perang Mu Tah pun pecah. Zaid bin Haritsah gugur terlebih dahulu, disusul oleh Ja’far bin Abi Thalib yang bertempur heroik hingga tubuhnya penuh luka. Abdullah bin Rawahah pun menyusul dua sahabatnya ke medan syahid.
Situasi genting. Pasukan muslim sempat bingung karena tidak ada lagi panglima yang ditunjuk. Di tengah kekacauan, Tsabit bin Arqam mengambil alih bendera dan menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan baru. Meskipun baru saja masuk Islam, Khalid dikenal sebagai jenderal cerdas dalam urusan strategi perang. Para tentara setuju dan bersumpah setia di bawah komandonya.
Di sinilah momen penting Perang Mu Tah. Khalid bin Walid menunjukkan kelasnya sebagai jenderal ulung. Ia memutar posisi pasukan, memindahkan barisan depan ke belakang dan sebaliknya, menciptakan ilusi seolah-olah pasukan muslim mendapat bala bantuan. Taktik ini berhasil mengecoh pasukan musuh yang berpikir jumlah lawan mereka bertambah.
Strategi Khalid bin Walid dan Kemenangan Moral Umat Islam
Taktik brilian dari Khalid bin Walid membuat pasukan Romawi dan sekutunya bingung. Debu-debu yang berterbangan akibat pergerakan pasukan menambah efek dramatis yang membingungkan musuh. Di tengah kekacauan itu, Qutbah bin Qatadah, komandan sayap kanan muslim, berhasil membunuh jenderal musuh, Ghasan Malik.
Kematian sang jenderal membuat pasukan Heraklius kehilangan arah. Pasukan muslim pun memanfaatkan momen itu untuk mundur secara strategis tanpa di kejar oleh musuh. Meskipun secara teknis perang ini tidak di menangkan secara mutlak, tapi umat Islam berhasil menyelamatkan kehormatan, pasukan, dan moral.
Tidak hanya itu, Khalid bin Walid mulai di kenal sebagai “Pedang Allah yang Terhunus” setelah keberhasilannya dalam Perang Mu Tah.
Baca juga: Penyebab Terjadinya Perang Jamal dalam Sejarah Islam
Warisan dan Makna dari Perang Mu Tah
Setibanya pasukan di Madinah, Rasulullah SAW menyambut mereka dengan rasa bangga, bukan kecewa. Rasul menyadari betapa tidak seimbangnya jumlah pasukan, namun pasukan muslim tetap menunjukkan keberanian luar biasa. Ia bahkan memuji Khalid bin Walid dan mendoakan semua syuhada yang gugur.
Perang Mu Tah menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya kepemimpinan, strategi, dan semangat juang. Ia bukan sekadar catatan sejarah, melainkan kisah yang seharusnya terus di hidupkan dalam ingatan kaum muslimin. Dalam medan perang yang tidak seimbang, kemenangan sejati bukan di ukur dari jumlah yang di taklukkan, melainkan dari keberanian untuk tetap berdiri.
Perang Mu Tah dan Relevansinya Hari Ini
Perang Mu Tah adalah saksi bisu dari tekad dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Di tengah ancaman kekuatan besar Kekaisaran Romawi, pasukan muslim menunjukkan bagaimana strategi, iman, dan keberanian bisa menyeimbangkan kekuatan yang timpang. Kisah ini bukan hanya penting untuk dikenang sebagai bagian dari sejarah Islam, tetapi juga sebagai inspirasi untuk selalu bertahan, berpikir cerdas, dan tidak takut menghadapi tantangan besar.
Dalam dunia yang terus berubah, Perang Mu Tah mengajarkan bahwa kemenangan bukan hanya milik yang kuat, tapi milik mereka yang teguh pada keyakinan dan tahu bagaimana melangkah dengan bijak.