online-uttarakhand | Pada bulan Juli 1974, sebuah peristiwa besar terjadi di Lausanne, Swiss. Peristiwa ini kemudian melahirkan sebuah dokumen penting yang dikenal dengan Perjanjian Lausanne. Dokumen ini bukan sekadar hasil konferensi biasa, melainkan sebuah tonggak sejarah dalam dunia kekristenan global, sebuah panggilan bagi gereja-gereja di seluruh dunia untuk bangkit dan menghidupi kembali misi utama mereka, mewartakan Injil ke seluruh penjuru bumi.
Awal Mula Perjanjian Lausanne
Perjanjian Lausanne lahir dari Kongres Internasional tentang Evangelisasi Dunia yang dihadiri oleh lebih dari 2.400 pemimpin Kristen dari 150 negara. Di antara tokoh-tokoh besar yang hadir adalah Billy Graham, John Stott, Francis Schaeffer, hingga Carl Henry.
Mereka semua berkumpul bukan hanya untuk berbicara, tapi untuk menjawab satu pertanyaan besar, bagaimana gereja bisa menjalankan misinya di tengah dunia yang sedang kacau secara politik, ekonomi, dan budaya? Jawabannya adalah dengan membentuk sebuah kesepakatan yang menjadi dasar dan arah misi global, Perjanjian Lausanne.
Isi dan Visi Perjanjian Lausanne
Dokumen ini di tulis dengan tangan dingin John Stott, seorang teolog terkemuka. Tapi lebih dari sekadar teologi, Perjanjian Lausanne adalah janji bersama. Janji kepada Tuhan dan sesama umat percaya untuk tidak tinggal diam.
Di dalamnya terdapat lima belas poin utama yang menegaskan landasan iman dan panggilan gereja. Mulai dari tujuan Allah yang kekal, otoritas Alkitab, keunikan Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan, hingga pentingnya aksi sosial dan penginjilan yang berjalan beriringan.
Lausanne tidak hanya bicara soal iman pribadi. Ia juga menyoroti tanggung jawab sosial, pentingnya kepemimpinan Kristen, perlunya pendidikan teologis yang kuat, dan bahkan isu-isu pelik seperti kebebasan beragama dan penganiayaan.
Gerakan Lausanne dan Dampaknya
Setelah tahun 1974, Gerakan Lausanne tidak berhenti. Konferensi berikutnya di gelar pada 1989 di Manila, menghasilkan Manila Manifesto, lalu pada 2010 di Cape Town, lahirlah Cape Town Commitment. Semua ini adalah lanjutan dari semangat Lausanne: satu Injil untuk setiap orang, satu gereja untuk setiap bangsa, satu pemimpin seperti Kristus di setiap jemaat.
Bukan cuma wacana, gerakan ini menjelma menjadi nyata menginspirasi gereja-gereja untuk kontekstualisasi. Artinya? Mengabarkan Injil dengan tetap setia pada isinya, tapi fleksibel dalam bentuknya. Seperti Paulus yang menyesuaikan pendekatannya di berbagai kota, gereja juga harus mampu menjangkau masyarakat modern tanpa kehilangan pesan utama.
Menjaga Keseimbangan, Injil dan Tindakan Sosial
Seringkali gereja terjebak dalam ekstrem. Terlalu fokus pada penginjilan tapi lupa kasih nyata, atau sebaliknya giat dalam kegiatan sosial tapi kehilangan suara Injil. Perjanjian Lausanne menegaskan bahwa keduanya tidak bisa di pisahkan. Iman tanpa perbuatan adalah mati. Dan penginjilan tanpa kasih nyata hanyalah gema kosong.
Dalam bagian kelima, Perjanjian Lausanne menyatakan dengan tegas bahwa tugas penginjilan dan keterlibatan sosial-politik adalah dua sisi dari koin yang sama. Sebuah gereja sejati harus peduli pada keselamatan kekal sekaligus penderitaan nyata manusia.
Perjanjian Lausanne di Tengah Dunia Modern
Di era sekarang, ketika gereja-gereja mengalami penurunan kehadiran dan banyak yang kehilangan arah, Perjanjian Lausanne kembali menjadi jangkar. Ia mengingatkan kita bahwa mandat Amanat Agung bukan sekadar sejarah, tapi panggilan abadi.
Lebih dari itu, Lausanne menegaskan bahwa hanya melalui Yesus Kristus, keselamatan sejati dapat di temukan. Bukan lewat usaha manusia, bukan pula lewat aktivitas sosial semata. Tapi melalui pertobatan, iman, dan pewartaan Injil yang setia.
Perjanjian Lausanne bukan sekadar dokumen kuno. Ia adalah api yang menyala menggerakkan gereja untuk terus bersaksi di tengah dunia yang makin kompleks. Dari Swiss ke seluruh dunia, semangatnya menembus batas negara, budaya, dan zaman.
Kalau gereja ingin tetap relevan tanpa kehilangan jati diri, maka kembali ke semangat Lausanne adalah jawabannya. Injil adalah kekuatan Allah bagi keselamatan (Roma 1:16). Dan selama masih ada jiwa yang belum mendengar, misi ini belum selesai.